halo teman-teman, kali ini aku ingin membagikan sedikit cerita loh, ceritanya begini jadi pada tanggal 27 April 2019 lalu aku mengikuti sebuah kegiatan yang diselenggarakan oleh Yayasan Pita Kuning Anak Indonesia (YPKAI), kegiatan tersebut bernama Volunteer Gathering Pita Kuning, yaitu yang bertujuan sebagai pertemuan para Volunteer atau relawan pendampingan / asuhan paliatif kanker dibawah naungan YPKAI. Aku sendiri mulai bertugas sebagai relawan sejak 21 Juni 2017 (Batch 5) dan hingga sekarang aku sedang mendampingi anak Pita Kuning yang ke-3, yaitu Yoga Rivaldi untuk periode Maret - Juni 2019.
Nah untuk event yang kali ini adalah keikutsertaanku yang pertama kali pada volunteer gathering, makanya ini hal yang menurutku spesial untuk ditulis kedalam blog. Volunteer Gathering mulai dari pukul 10.00, tetapi aku baru datang sekitar pukul 11.00, karena paginya aku masih harus membereskan urusan pekerjaan yang belum selesai. Tempat pelaksanaan volunteer gathering juga lumayan memakan waktu, yakni sekitar 1 jam menggunakan motor dari Tangerang menuju RPTRA Borobudur yang berada di kawasan menteng, tepatnya bersebelahan dengan kampus pascasarjana Universitas Pancasila. Sepanjang perjalanan dari Tangerang menuju Grogol aku dihampiri dengan kemacetan, padahal itu hari sabtu loh, dan sesampainya di kawasan menteng aku mataku mulai tertegun hehe, karena banyak gedung-gedung besar megah mengelilingi jalanan ibu kota terlebih pada saat melewati Stasiun Cikini yang bangunannya lumayan kuno.
Akhirnya aku tiba juga di RPTRA Borobudur tempat dilaksanakannya volunteer gathering Pita Kuning, sampai disana aku mengisi absen dan langsung duduk di bagian depan (karena hanya itu yang masih kosong hehe) untuk mendengarkan presentasi dari kak Devita, koordinator relawan. Banyak yang kuserap dari presentasi tersebut terutama mengenai sistem manajemen kerelawanan di Pita Kuning. Selesai presentasi kami langsung dibagi kelompok sesuai dengan anak dampingan dan kakak peksos (pekerja sosial). Saya dan beberapa teman yang lain memiliki satu peksos yang sama tetapi berbeda adik dampingan, dan kami saling sharing mengenai cerita saat pendampingan, mulai dari kegiatan yang dilakukan, kondisi anak dampingan, kondisi ekonomi keluarga anak dampingan, hal-hal yang menyenangkan dan menggagumkan mengenai perjuangan dan kedewasaan si anak dampingan dalam menghadapi penyakitnya sampai dengan cerita yang membuat berlinang air mata, yakni kematian anak dampingan.
Selesai kami berbincang untuk saling bertukar pikiran dengan kak rizki (peksos) dan makan siang, lalu tiba saat yang paling menarik, tak terlupakan, mengesankan dan membekas di hati, yakni kami diajak bermain dengan Komunitas TGR atau yang disebut Traditional Games Return. Apakah itu TGR, yaitu sebuah komunitas yang berusaha untuk membangkitkan kembali mainan-mainan tradisional Indonesia. Awalnya kami mulai diajak bermain yang melatih keseimbangan kerja otak kiri dan kanan, diajak mengulang kata-kata dan memaikan kode-kode gerakan yang membuat banyak dari kami kebingungan karena tidak sinkron.
Kemudian kami diajak bermain mainan tradisional seperti balap karung, jalan bakiak, gasing tradisional, main engklek, enggrang batok, catur jawa, congklak, dan yang paling menarik menurutku adalah Rangku Alu atau Tari Tongkat, dimana permainan tersebut dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama bertugas untuk memainkan bambu dan bernyanyi lagu-lagu tradisional dan kelompok kedua bertugas untuk menari sembari menghindari jepitan bambu dan penari akan masuk dalam bidang persegi dan melompat-lompat sesuai irama buka tutup bambu.
Rangku Alu (Tari Tongkat)
Senangnya main mainan tradisional
Gasing Bambu
Main Congklak
Jalan Bakiak
Catur Jawa (Baru tahu kan kalo Indonesia punya permainan catur sendiri)
Gimana, serukan bermain permainan tradisional !, TGR juga punya slogan loh, yaitu "Lupakan Gadgetmu, Ayo main di luar", jika kalian mau lebih tahu tentang permainan tradisional, kalian bisa follow IG dari TGR, yaitu di @tgrcampaign dan membeli mainan tradisional tersebut di @tgrstore.id. Selesai bermain tradisional ini juga jadi pelajaran buat kami yang hadir pada waktu itu, bahwa untuk sejenak kami melupakan gadget kami dan bermain permainan tradisional untuk mengingat-ingat masa kecil kami, saya juga teringat kalo dulu waktu sd pernah bermain benteng-bentengan bersama teman-teman dan waktu itu memang belum ada gadget jadi kami pastinya harus main diluar bersama teman-teman. Memang berbeda sekali di jaman yang serba modern saat ini kita lihat anak-anak yang masih balita sudah mengenal gadget dan kalau tidak diberi gadget bisa ada yang menangis. Sungguh ironis sebetulnya dengan mudahnya orang tua memberikan anaknya gadget ketika tidak mau makan atau hanya sekedar untuk mendiamkan anaknya, namun tidak diberikan pendidikan sosial dan karakter yang bisa didapat dari permainan tradisional ini. Menurut saya permainan tradisional melatih kita untuk mau tidak mau tidak menjadi pribadi yang JAIM hehe atau alias antipati terhadap sosial, ya dalam permainan tradisional kita harus berkomunikasi dan berkerja sama agar permainan bisa menjadi suatu permainan yang menarik untuk dimainkan. Permainan tradisional mengajarkan kita untuk berani bersosialisasi, melatih kecerdasan berpikir yang tentunya bagi anak usia dini sangat penting, dan yang paling penting dari permainan tradisional itu adalah adanya "PENDIDIKAN KARAKTER", karena anak dapat bisa lebih menyatu dengan alam dan bertemu dengan teman-teman baru secara "NYATA", hal itu menurut saya bisa memberikan karakter saling menghargai dan menghormati orang lain, mengembangkan empati, sadar dan taat pada peraturan, kedisiplinan, kemampuan anak menyesuaikan diri ditengah pergaulan, dan terutama permainan tradisional dapat membantu untuk mengontrol emosi dan kepekaan sosial si anak. Lain halnya apabila si anak hanya menghabiskan waktu bermain dengan gadget sepanjang hari, disana tidak ada interaksi sosial sehingga bisa menumbuhkan sikap antipati kepada si anak atau sikap acuh tak acuh / masa bodoh, dia mungkin bisa menjadi orang yang pintar secara intelegensi (IQ), namun tidak pandai dalam hal kecerdasan emosi (EQ). Dan justru berdasarkan penelitian dari para psikolog bahwa IQ hanya berperan 10 % dan paling banyak 25 % sebagai penentu kesuksesan seseorang, sisanya tergantung faktor lain, termasuk EQ.
PILIH YANG MANA ?
GADGET VS PERMAINAN TRADISIONAL
JAWABANNYA : HARUS DIIMBANGI
Tentu di zaman yang sudah maju tidak mungkin kita bisa lepas dari yang namanya gadget, bahkan anak-anak kecil balita sudah bisa menggunakan gadget dengan mudahnya, tetapi harusnya permainan tradisional itu pun jangan ditinggalkan, karena permainan tradisional dapat membentuk karakter dan perilaku yang sudah diuraikan diatas.
Jadi itulah sekilas cerita saya pada hari sabtu pagi hingga menjelang sore, yaitu mendapatkan pelatihan kerelawanan dan bermain permainan tradisional yang menyenangkan. Teman-teman yang ingin menjadi relawan pendampingan anak kanker, jangan ragu untuk segera mendaftar di bach berikutnya, kalian tentu harus mengikuti training relawan untuk mendapatkan pengetahuan mengenai palliative care dan kanker agar dapat menjalankan tugas dengan baik. Segera daftar ya di pitakuning.or.id atau bisa mencari informasinya di indorelawan.org. Menjadi relawan adalah berusaha untuk hidup sebaik-baiknya, berusaha untuk menjadi manusia sesungguhnya, berusaha untuk mengembangkan cinta kasih pada diri kita dan sesama, dan tentunya menjadi relawan adalah suatu berkah karena bisa bersumbangsih baik melalui nilai material maupun immaterial.
Volunteer Gathering Pita Kuning - 27 April 2019
BATCH 1 - 10
Senangnya dapat berbagi, karena dengan berbagi, hidup ini penuh dengan cinta kasih
BATCH 1 - 10
Senangnya dapat berbagi, karena dengan berbagi, hidup ini penuh dengan cinta kasih
Kurnia Yosep Cahyadi
nb : foto bersumber dari komunitas Traditional Games Return (TGR) dan google.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar