Senin, 04 Maret 2019

Ayah & Ibu (Part 2) Belajar Melepas untuk bersyukur

Tulisan ini sambungan dari post sebelumnya mengenai kehilangan ayah dan ibu. Banyak hal yang terjadi dalam 2 tahun belakangan ini yang saya alami. Mulai dari ayah yang sakit berkepanjangan sejak awal 2016 sampai kepergiannya di tahun 2017, hingga ibuku yang terkena kanker otak Glioblastoma stadium 4 pada bulan Juli 2017. Papa yang terkena gagal jantung dan hidupnya harus bergantung pada alat kecil seukuran kartu ATM yang ditanam di dadanya, yaitu ICD (Implantable Cardioverter Defibrillator). ICD berperan untuk melakukan bantuan CPR otomatis apabila terjadi serangan jantung yang bisa terjadi kapan saja, penyakit papa memang seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja dan pernah suatu kali papa terjatuh di wc karena terjadi serangan dan lepas dari pengawasan saya membuat saya terus bersedih dan menyesal, kenapa saya tidak ada disana dan membantu memapahnya ke wc, sehingga tidak harus sampai ia terjatuh. pernah suatu ketika papa di rumah sakit dan saya meninggalkannya hanya demi untuk meladeni nafsu saya membeli sebuah tv jadul, padahal waktu itu papa justru membutuhkan dorongan semangat. 

Kemudian mama jatuh sakit dan diagnosa MRI menjelaskan bahwa sakit kepala yang dialami olehnya adalah akibat tumor ganas yang bersarang di otaknya. Saat itu papa juga sedang berjuang melawan sakitnya di rumah sakit dan mau tidak mau atas rembukan keluarga mama harus menjalani pengobatan kanker di Singapura untuk mendapatkan prognosis harapan hidup yang lebih baik, dan hal itu membuat saya harus terpisah dari papa sampai papa menghembuskan nafas terakhirnya. Perjuangan saya menemani mama dari awal diagnosa sampai akhir hayatnya mungkin itu yang membuat saya terus bersedih, terus mengingat, dan terbayang-bayang oleh mama. Banyak penyesalan ketika mama masih hidup, seperti saya pernah marah kepada mama karena mama menjatuhkan obat yang seharusnya diminum sesuai dosis, namun jadi berkurang. Saya kurang memeluknya sewaktu ia tidur, saya pernah menangis didepannya, saya pernah panik akibat mama yang sudah seperti orang stroke terbaring di lantai dan tidak bisa berbuat apa-apa karena pada waktu itu saya sendiri.

Penyesalan memang selalu datang diakhir dan akhirnya saya menderita akibat kemarahan yang pernah saya buat dan akibat ketidak-mampuan untuk mengendalikan diri. Namun kemudian terlepas dari hal negatif diatas yang saya ceritakan, apakah ada hal positifnya ? yaa tentu ada, saya tidak mentelantarkan orang tua saya, saya berusaha untuk menyembuhkan mama dengan berbagai cara mulai pengobatan medis, herbal, pengobatan helm anti kanker, pengobatan hipnoterapi, meditasi dan pembacaan doa. Namun akhirnya mama harus menghembuskan nafas terakhirnya 13 bulan setelah papa wafat.

Saya melihat mama begitu tegar dan begitu ingin sembuh, ia sedih ketika papa meninggal tapi tidak pernah terlihat bersedih, ia begitu kuat dan tegar, berbeda dengan saya yang mudah bersedih dan mengeluh. Setelah ditinggal oleh kedua orang tua, saya belajar untuk melepas dan tidak melekat. Saya terus berbuat baik, tidak berhenti berbuat baik seperti yang saya lakukan ketika papa dan mama masih hidup. Perasaan bersedih ini mulai harus saya bisa kendalikan dan justru saya harus membangun diri ini menjadi lebih baik agar tidak menjadi sia-sia orang tua membesarkan saya.

Saya mulai merenungi kematian, terus berulang-ulang direnungi bahwa kehidupan tidaklah pasti namun kematian adalah pasti. Banyak pelajaran berharga yang saya ambil dari kematian orang tua saya, yaitu adalah perjuangan mereka untuk hidup. mesin - mesin di ICU yang saya lihat banyak terpasang pada tubuh manusia, saya sudah berpuluh-puluh kali melihat alat kejut atau Defibrillator itu dikejutkan ke dada papa saya dalam keadaan hidup dan ketika melihatnya jujur saya sungguh tidak tega, "ayah saya begitu menderita", begitu pula mama yang harus menelan pil kemoterapi yang malah justru menggrogoti seluruh tubuhnya dan tumor yang semakin berkembang hingga membuat badannya lumpuh, itu juga sungguh menderita. Adalagi seorang anak bernama Reza yang terkena kanker getah bening dan akhirnya harus tutup usia pada umur 15 tahun dan baru-baru saja Ilham, adik dampingan saya yang kedua selama menjadi sukarelawan di Yayasan Pita Kuning sebagai relawan palliative juga harus tutup usia di umur 17 tahun pada 22 Februari 2019 kemarin karena kanker darah atau leukimia yang sudah menyebar sampai ke otak, dan lagi-lagi saya harus melihat penderitaan yang dialami oleh anak yang masih remaja itu.

Saya sungguh bersyukur di usia saya yang ke 28 Tahun saya masih diberikan kesehatan, diberikan kesempatan untuk berbuat baik, masih bisa datang ikut puja bakti setiap minggunya di Vihara mendengarkan Dhamma ajaran Sang Buddha, saya sungguh begitu amat bersyukur. Setiap pagi saya masih bisa menghirup udara segar sedangkan diluar sana sebetulnya apabila anda sekedar mencoba datang ke rumah sakit umum Siloam, banyak anak-anak kecil balita hingga remaja yang sudah terkena kanker. Dan itu saya sadari, saya menyadari bahwa tubuh ini hanyalah bagian dari bentukan-bentukan daging dan tulang atau Panca Khanda, semua itu cukup disadari. Ketika muncul penyakit cukup disadari, oh tubuh saya lagi sakit, ya namanya tubuh terkadang bisa sehat namun juga bisa tidak sehat, saya menerimanya, semua itu adalah bagian dari karma yang harus saya jalani. Justru dari orang-orang yang mengalami sakit saya belajar dan saya berusaha untuk siap, ketika saya sakit saya tidak gentar, saya melepas untuk bersyukur dan mulai hari ini tidak akan saya lewatkan satu detikpun untuk memiliki citta atau pikiran yang baik. Pikiran adalah pelopor, jika punya pikiran yang baik tentu ada niat, perilaku, ucapan dan tindakan yang baik. Tidak akan saya lewatkan satu detikpun untuk selalu memuliakan orang tua saya, semoga orang tua saya berbahagia, berbahagia dan berbahagia, Tidak akan saya lewatkan satu detikpun ketika ada kesempatan untuk berbuat baik selagi saya sanggup.

Melepas untuk bersyukur, artinya saya berusaha untuk tidak melekat, saya bersyukur setiap saat setiap momen kehidupan saya, entah apa masalah yang saya hadapi saya harus hadapi, saya menyadari perasaan kesedihan yang saya terima ini hanya sementara, penyakit batin jauh lebih berbahaya daripada penyakit jasmani. Dan karena saya bersyukur saya belajar untuk tidak "MENGELUH", kenapa saya begini, kenapa tuhan memberika saya ini, pokoknya segala bentuk ketidaksukaan, ketidakbahagiaan yang saya terima, saya lebih berusaha untuk tidak mengeluh. Ketika melihat penderitaan yang dirasakan orang lain, justru kita selayaknya menyemangatinya, memberikan keceriaan dalam hidupnya, memberikan suatu momen yang akan membuatnya tertawa dan bahagia meskipun hanya sesaat dan pada akhirnya kita sendirilah yang harus berterima kasih kepada mereka, karena kita akan lebih mensyukuri hidup, lebih menghargai hidup, hidup pada saat ini bukan pada masa lampau atau memikirkan masa depan, hidup dengan memberikan yang terbaik setiap saat.

dan akhir cerita saya selalu tutup dengan doa kepada mendiang ayah dan ibu :
semoga papa hendra dan mama lani berbahagia
semoga sanak keluarga dan para leluhur berbahagia
semoga jasa-jasa baik yang saya lakukan turut mengkondisikan kebahagiaan kepada mereka
semoga mereka dapat mengenal dhamma dikehidupan yang mereka jalani sekarang
semoga mereka selalu dalam lindungan sang Tiratana Buddha - Dhamma - Sangha

sabbe satta bhavantu sukhitatta
Semoga semua makhluk berbahagia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Kesehatan Jasmani dan Kecencerungan Kriminal

Kesehatan Jasmani dan Kecenderungan Kriminal  dikutip dalam buku "Bagaimana Mengatasi Kesulitan Anda" Karangan Ven.K.Sri Dham...